Tugas Softskill Etika Bisnis
Indri Sugiastiwi
14213407
4EA18
Etika Bisnis
PENGERTIAN ETIKA BISNIS
Etika bisnis merupakan
etika khusus (terapan), pada awalnya berkembang di Amerika Serikat. Sebagai
cabang filsafat terapan, etika bisnis membahas dalam segi moral perilaku
manusia yang mempunyai profesi di bidang bisnis dan manajemen. Etika bisnis
dapat dilihat sebagai usaha untuk merumuskan dan menerapkan prinsip-prinsip
etika dibidang hubungan ekonomi antar manusia. Secara terperinci, Richard T.de
George menyebut bahwa etika bisnis menyangkut empat kegiatan sebagai berikut:
2.
Penerapan
prinsip-prinsip umum dalam praktik bisnis. Berdasarkan prinsi-prinsip etuka
bisnis itu kita dapat menyoroti dan menilai apakah suatu keputusan atau
tindakan yang diambil dalam dunia bisnis secara moral dapat dibenarkan atau
tidak. Dengan demikian etik bisnis membantu pra pelaku bisnis untuk mencari
cara guna mencegah tindakan yang dinilai tidak etis.
3.
Etika bisnis tidak hanya
menyangkut penerapan prinsip-prinsip etika pada dunia bisnis, tetapi juga
metaetika. Dalam hubungan ini, etika bisnis mengkaji apakah perilaku yang
dinilai etis pada individu juga dapat berlaku pada organisais atau perusahaan
bisnis. Selanjutnya etika bisnis menyoroti apakah perusahaan mempunyai tanggung
jawab sosial atau tidak.
4.
Bidang telaah etika
bisnis menyangkut pandangan – pandangan mengenai bisnis. Dalam hal ini, etika
bisnis mengkaji moralitas sistem ekonomi pada umumnya dan sistem ekonomi publik
pada khususnya, misalnya masalah keadilan sosial, hak milik, dan persaingan.
5.
Etika bisnis juga
menyentuh bidang yang sangat makro, seperti operasi perusahaan multinasional,
jaringan konglomerat internasional, dan lain- lain.
Tujuan etika bisnis adalah menggugah kesadaran moral para pelaku bisnis
untuk menjalankan bisnis yang baik dan tidak melakukan monkey business atau bisnis kotor. Etika bisnis mengajak para
pelaku bisnis mewujudkan citra dan manajemen bisnis yang baik (etis) agar
bisnis itu pantas dimasuki oleh semua orang yang mempercayai adanya dimensi
etis dalam dunia bisnis. Hal ini sekaligus menghalau citra buruk dunia bisnis
sebagai kegiatan yang kotor, licik, dan tipu muslihat. Kegiatan bisnis
mempunyai implikasi etis, dan oleh karenanya membawa serta tanggungjawab etis
bagi pelakunya.
Etika Bisnis adalah seni
dan disiplin dalam menerapkan prinsip-prinsip etika untuk mengkaji dan
memecahkan masalah-masalah moral yang kompleks. (Weis) .
Etika Bisnis merupakan
studi mengenai bagaimana norma moral personal diaplikasikan ke dalam aktivitas
dan tujuan perusahaan (Laura Nash).
SASARAN DAN RUANG
LINGKUP ETIKA BISNIS
Setelah melihat penting dan relevansi etika bisnis ada baiknya jika kita
tinjau lebih lanjut apa saja sasaran dan lingkup etika bisnis itu. Ada tiga
sasaran dan ruang lingkup pokok etika bisnis di sini, yaitu:
1.
Etika bisnis sebagai
etika profesi membahas berbagai prinsip, kondisi, dan masalah yang terkait
dengan praktek bisnis yang baik dan etis. Dengan kata lain, etika bisnis
pertama-tama bertujuan untuk menghimbau para pelaku bisnis untuk menjalankan
bisnis secara baik dan etis.
2.
Menyadarkan masyarakat,
khususnya konsumen, buruh, atau karyawan dan masyarakatluas pemilik aset umum
semacam lingkungan hidup, akan hak dan kepentingan mereka yang tidak boleh
dilanggar oleh praktek bisnis siapa pun juga. Pada tingkat ini, etika bisnis
berfungsi untuk menggugah masyarakat untuk bertindak menuntut para pelaku
bisnis untuk berbisnis secara baik demi terjaminnya hak dan kepentingan
masyarakat tersebut. Etik bisnis mengajak masyarakat luas, entah sebagai
kartawan, konsumen, atau pemakai aset umum lainnya yan gberkaitan dengan
kegiatan bisnis, untuk sadar dan berjuang menuntut haknya atau paling kurang
agar hak dan kepentingannya tidak dirugikan oleh kegiatan bisnis pihak mana
pun.
3.
Etika bisnis juga
berbicara mengenai sistem ekonomi yang sangat menentukan etis tidaknya suatu
praktek bisnis. Dalam hal ini, etika bisnis lebih bersifat makro, yang karena
itu barang kali lebih tepat disebut etika ekonomi. Dalam lingkup makro semacam
ini, etika bisnis berbicara mengenai monopoli, oligopoli, kolusi, dan
praktek-praktek semacamnya yang akan sangatmempengaruhi tidak saja sehat
tidaknya suatu ekonomi melainkan juga baik tidaknya praktek bisnis dalam sebuah
negara.
TINGKATAN ETIKA BISNIS
Weiss(1995:9) mengutip
pendapat Carroll( 1989) membahas lima tingkatan etika bisnis, yaitu individual,
organisasional, asosiasi, masyarakat, dan internasional.
1.
Tingkat individual,
menyangkut apakah seseorang akan berbohong mengenai rekening pengeluaran,
mengatakan rekan sejawat sedang sakit karena tidak ada di tempat kerja,
menerima suap, mengikuti saran teman sekerja sekalipun melampaui perintah
atasan. Jika masalah etis hanya terbatas pada tanggung jawab individual, maka
seseorang harus memeriksa motif dan standar etikanya sebelum mengambil
keputusan.
2.
Tingkat organisasional,
masalah etis muncul apabila seseorang atau kelompok orang ditekan untuk
mengabaikan atau memaafkan kesalahan yang dilakukan oleh sejawat demi
kepentingan keharmonisan perusahaan atau jika seorang karyawan disuruh
melakukan perbuatan yang tidak sah demi keuntungan unit kerjanya.
3.
Tingkat asosiasi,
seorang akuntan, penasihat,dokter, dan konsultan manajer harus melihat anggaran
dasar atau kode etik organisasi profresinya sebagai pedoman sebelum ia memberikan
saran pada kliennya.
4.
Tingkat masyarakat,
hukum, norma, kebiasaan dan tradisi menentukan perbuatan yang dapat diterima
secara sah. Ketentuan ini tidak mesti berlaku sama di semua negara. Oleh karena
itu, kita perlu berkonsultasi dengan orang atu badan yang dapat dipercaya
sebelum melakukan kegiatan bisnis di negara lain.
5.
Tingkat internasional,
masalah-msalah etis menjadi lebih rumit untuk dipecahkan karena faktor
nilai-nilai dan budaya, politik dan agama ikut berperan. Oleh karena itu, konstitusi,
hukum, dan kebiasaan perlu dipahami dengan baik sebelum seesorang mengambil
keputusan.
Prinsip-prinsip Etika
Bisnis
Keraf (1994:71-75)
menyebutkan terdapat lima prinsip etika bisnis yaitu:
1.
Prinsip Otonomi. Otonomi
adalah sikap dan kemampuan manusia untuk bertindak berdasarkan kesadarannya
sendiri. Bertindak secara otonom mengandaikan adanya kebebasan mengambil
keputusan dan bertindak menurut keputusan itu. Otonomi juga mengandaikan adanya
tanggung jawab. Dalam dunia bisnis, tanggung jawab seseorang meliputi tanggung
jawab terhadap dirinya sendiri, pemilik perusahaan, konsumen, pemerintah, dan
masyarakat.
2.
Prinsip Kejujuran.
Prinsip kejujuran meliputi pemenuhan syarat-syarat perjanjian atau kontrak,
mutu barang atau jasa yang ditawarkan, dan hubungan kerja dalam perusahaan.
Prinsip ini paling problematik karena masih banyak pelaku bisnis melakukan
penipuan.
3.
Prinsip Tidak Berbuat
Jahat dan Berbuat Baik. Prinsip ini mengarahkan agar kita secara aktif dan
maksimal berbuat baik atau menguntungkan orang lain, dan apabila hal itu tidak
bisa dilakukan, kita minimal tidak melakukan sesuatu yang merugikan orang lain
atau mitra bisnis.
4.
Prinsip Keadilan.
Prinsip ini menuntut agar kita memberikan apa yang menjadi hak seseorang di
mana prestasi dibalas dengan kontra prestasi yang sama nilainya.
5.
Prinsip Hormat Pada Diri
Sendiri. Prinsip ini mengarahkan agar kita memperlakukan seseorang sebagaimana
kita ingin diperlakukan dan tidak akan memperlakukan orang lain sebagaimana
kita tidak ingin diperlakukan.
Relativitas Moral Dalam
Bisnis
Menurut De George, ada tiga pandangan umum yang dianut. Pandangan pertama
adalah norma etis berbeda antara 1 tempat dengan tempat lainnya. Artinya
perusahaan harus mengikuti norma dan aturan moral yang berlaku di negara tempat
perusahaan tersebut beroperasi. Yang menjadi persoalan adalah anggapan bahwa
tidak ada nilai dan norma moral yang bersifat universal yang berlaku di semua
negara dan masyarakat, bahwa nilai dan norma moral yang berlaku di suatu negara
berbeda dengan yang berlaku di negara lain. Oleh karena itu, menurut pandangan
ini norma dan nilai moral bersifat relatif. Ini tidak benar, karena
bagaimanapun mencuri, merampas, dan menipu dimanapun juga akan dikecam dan
dianggap tidak etis.
Pandangan kedua adalah bahwa nilai dan norma moral sendiri paling benar
dalam arti tertentu mewakili kubu moralisme universal, yaitu bahwa pada
dasarnya norma dan nilai moral berlaku universal, dan karena itu apa yang
dianggap benar di negara sendiri harus diberlakukan juga di negara lain (karena
anggapan bahwa di negara lain prinsip itu pun pasti berlaku dengan sendirinya).
Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa moralitas menyangkut baik buruknya
perilaku manusia sebagai manusia, oleh karena itu sejauh manusia adalah
manusia, dimanapun dia berada prinsip, nilai, dan norma moral itu akan tetap
berlaku.
Pandangan ketiga adalah immoralis naif. Pandangan ini menyebutkan bahwa
tidak ada norma moral yang perlu diikuti sama sekali.
Kendala-kendala
Pelaksanaan Etika Bisnis
Pelaksanaan prinsip-prinsip etika bisnis di Indonesia masih berhadapan
dengan beberapa masalah dan kendala. Keraf(1993:81-83) menyebut beberapa
kendala tersebut yaitu:
1.
Standar moral para
pelaku bisnis pada umumnya masih lemah. Banyak di antara pelaku bisnis yang
lebih suka menempuh jalan pintas, bahkan menghalalkan segala cara untuk
memperoleh keuntungan dengan mengabaikan etika bisnis, seperti memalsukan
campuran, timbangan, ukuran, menjual barang yang kadaluwarsa, dan memanipulasi
laporan keuangan.
2.
Banyak perusahaan yang
mengalami konflik kepentingan. Konflik kepentingan ini muncul karena adanya
ketidaksesuaian antara nilai pribadi yang dianutnya atau antara peraturan yang
berlaku dengan tujuan yang hendak dicapainya, atau konflik antara nilai pribadi
yang dianutnya dengan praktik bisnis yang dilakukan oleh sebagian besar
perusahaan lainnya, atau antara kepentingan perusahaan dengan kepentingan
masyarakat. Orang-orang yang kurang teguh standar moralnya bisa jadi akan gagal
karena mereka mengejar tujuan dengan mengabaikan peraturan.
3.
Situasi politik dan
ekonomi yang belum stabil. Hal ini diperkeruh oleh banyaknya sandiwara politik
yang dimainkan oleh para elit politik, yang di satu sisi membingungkan
masyarakat luas dan di sisi lainnya memberi kesempatan bagi pihak yang mencari
dukungan elit politik guna keberhasilan usaha bisnisnya. Situasi ekonomi yang
buruk tidak jarang menimbulkan spekulasi untuk memanfaatkan peluang guna
memperoleh keuntungan tanpa menghiraukan akibatnya.
4.
Lemahnya penegakan
hukum. Banyak orang yang sudah divonis bersalah di pengadilan bisa bebas
berkeliaran dan tetap memangku jabatannya di pemerintahan. Kondisi ini
mempersulit upaya untuk memotivasi pelaku bisnis menegakkan norma-norma etika.
5.
Belum ada organisasi
profesi bisnis dan manajemen untuk menegakkan kode etik bisnis dan manajemen.
Organisasi seperti KADIN beserta asosiasi perusahaan di bawahnya belum secara
khusus menangani penyusunan dan penegakkan kode etik bisnis dan manajemen. Di
Amerika Serikat terdapat sebuah badan independen yang berfungsi sebagai badan
register akreditasi perusahaan, yaitu American Society for Quality Control
(ASQC)
Antara Keuntungan dan
Etika
Tujuan utama bisnis adalah mengejar keuntungan. Keuntungan adalah hal yang
pokok bagi kelangsungan bisnis, walaupun bukan merupakan tujuan satu-satunya,
sebagaimana dianut pandangan bisnis yang ideal. Dari sudut pandang etika,
keuntungan bukanlah hal yang buruk. Bahkan secara moral keuntungan merupakan
hal yang baik dan diterima. Karena :
Keuntungan memungkinkan
perusahaan bertahan dalam usaha bisnisnya.
Tanpa memeperoleh keuntungan tidak ada pemilik modal yang bersedia
menanamkan modalnya, dan karena itu berarti tidak akan terjadi aktivitas
ekonomi yang produktif demi memacu pertumbuhan ekonomi yang menjamin kemakmuran
nasional.
Keuntungan memungkinkan perusahaan tidak hanya bertahan melainkan juga
dapat menghidupi karyawan-karyawannya bahkan pada tingkat dan taraf hidup yang
lebih baik.
Ada beberapa argumen
yang dapat diajukan disini untuk menunjukkan bahwa justru demi memperoleh
keuntungan etika sangat dibutuhkan , sangat relevan, dan mempunyai tempat yang
sangat strategis dalam bisnis`dewasa ini.
Pertama, dalam bisnis modern dewasa ini, para pelaku bisnis dituntut
menjadi orang-orang profesional di bidangnya.
Kedua dalam persaingan bisnis yang ketat para pelaku bisnis modern sangat
sadar bahwa konsumen adalah benar-benar raja. Karena itu hal yang paling pokok
untuk bisa untung dan bertahan dalam pasar penuh persaingan adalah sejauh mana
suatu perusahaan bisa merebut dan mempertahankan kepercayaan konsumen.
Ketiga, dalam sistem pasar terbuka dengan peran pemerintah yang bersifat
netral tak berpihak tetapi efektif menjaga agar kepentingan dan hak semua
pemerintah dijamin, para pelaku bisnis berusaha sebisa mungkin untuk menghindari
campur tangan pemerintah, yang baginya akan sangat merugikan kelangsungan
bisnisnya. Slaah satu cara yang paling efektif adalah dengan menjalankan
bisnisnya bisnisnya secara secara baik dan etis yaitu dengan menjalankan bisnis
sedemikian rupa tanpa secara sengaja merugikan hak dan kepentinga semua pihak
yang terkait dengan bisnisnya.
Keempat, perusahaan-perusahaan modern juga semakin menyadari bahwa karyawan
bukanlah tenaga yang siap untuk eksploitasi demi mengeruk keuntunga yang
sebesar-besarnya. Justru sebaliknya, karyawan semakin dianggap sebagai subjek
utama dari bisnis suatu perusahaan yang sangat menentukan berhasil tidaknya,
bertahan tidaknya perusahaan tersebut.
Bismis sangat berkaitan dengan etika bahkan sangat mengandalkan etika.
Dengan kata lain, bisnis memang punya etika dan karena itu etika bisnis memang
relevan untuk dibicarakan. Argumen mengenai keterkaitan antara tujuan bisnis
dan mencari keuntungan dan etika memperlihatkan bahwa dalam iklim bisnis yang
terbuka dan bebas, perusahaan yang menjalankan bisnisnya secara baik dan etis,
yaitu perusahaan yang memperhatikan hak dan kepentingan semua pihak yang
terkait dengan bisnisnya, akan berhasil dan bertahan dalam kegiatan bisnisnya.
Pro dan Kontra Etika
dalam Bisnis
Mitos bisnis amoral
Bisnis adalah bisnis. Bisnis jangan dicampuradukkan dengan etika. Para
pelaku bisnis adalah orang-orang yang bermoral, tetapi moralitas tersebut hanya
berlaku dalam dunia pribadi mereka, begitu mereka terjun dalam dunia bisnis
mereka akan masuk dalam permainan yang mempunyai kode etik tersendiri. Jika
suatu permainan judi mempunyai aturan yang sah yang diterima, maka aturan itu
juga diterima secara etis. Jika suatu praktik bisnis berlaku begitu umum di
mana-mana, lama-lama praktik itu dianggap semacam norma dan banyak orang yang
akan merasa harus menyesuaikan diri dengan norma itu. Dengan demikian, norma
bisnis berbeda dari norma moral masyarakat pada umumnya, sehingga pertimbangan
moral tidak tepat diberlakukan untuk bisnis dimana “sikap rakus adalah baik”(Ketut
Rindjin, 2004:65).
Belakangan pandangan diatas mendapat kritik yang tajam, terutama dari tokoh
etika Amerika Serikat, Richard T.de George. Ia mengemukakan alasan alasan
tentang keniscayaan etika bisnis sebagai berikut:
Pertama, bisnis tidak dapat disamakan dengan permainan judi. Dalam bisnis
memang dituntut keberanian mengambil risiko dan spekulasi, namun yang
dipertaruhkan bukan hanya uang, melainkan juga dimensi kemanusiaan seperti nama
bai kpengusaha, nasib karyawan, termasuk nasib-nasib orang lain pada umumnya.
Kedua, bisnis adalah bagian yang sangat penting dari masyarakat dan
menyangkut kepentingan semua orang. Oleh karena itu, praktik bisnis
mensyaratkan etika, disamping hukum positif sebagai acuan standar dlaam
pengambilan keputusan dan kegiatan bisnis.
Ketiga, dilihat dari sudut pandang bisnis itu sendiri, praktik bisnis yang
berhasil adalah memperhatikan norma-norma moral masyarakat, sehingga ia
memperoleh kepercayaan dari masyarakat atas produ atau jasa yang dibuatnya.
Alasan Meningkatnya Perhatian
Dunia Usaha Terhadap Etika Bisnis
- Krisis publik tentang kepercayaan
- Kepedulian terhadap kualitas kehidupan kerja
- Hukuman terhadap tindakan yang tidak etis
- Kekuatan kelompok pemerhati khusus
- Peran media dan publisitas
- Perubahan format organisasi dan etika perusahaan
Perubahan nilai-nilai
masyarakat dan tuntutan terhadap dunia bisnis mengakibatkan adanya kebutuhan
yang makin meningkat terhadap standar etika sebagai bagian dari kebijakan
bisnis.
Artikel Tentang Pengaruh Etika Bisnis
Dengan Kejahatan Korporasi
Etika
terbagi atas dua :
1. Manusia
Etika Umum ialah
etika yang membahas tentang kondisi-kondisi dasar bagaimana itu bertindak
secara etis. Etika inilah yang dijadikan dasar dan pegangan manusia untuk
bertindak dan digunakan sebagai tolak ukur penilaian baik buruknya suatu
tindakan.
2. Etika
khusus ialah penerapan moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus misalnya
olah raga, bisnis, atau profesi tertentu. Dari sinilah nanti akan lahir etika
bisnis dan etika profesi (wartawan, dokter, hakim, pustakawan, dan lainnya).
Pasal-pasal
mengenai Etika Bisnis
1.
Pasal 4, hak konsumen adalah :
Ayat
1 : “hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa”.
Ayat
3 : “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa”.
2.
Pasal 7, kewajiban pelaku usaha adalah :
Ayat
2 : “memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan”
3.
Pasal 8
Ayat
1 : “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau
jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan
dan ketentuan peraturan perundang-undangan”
Ayat
4 : “Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2)
dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya
dari peredaran”
4.
Pasal 19 :
Ayat
1 : “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa
yang dihasilkan atau diperdagangkan”
Ayat
2 : “Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian
uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya,
atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”
Ayat
3 : “Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari
setelah tanggal transaksi”
Von
der Embse dan R.A. Wagley dalam artikelnya di Advance Managemen Jouurnal
(1988), memberikan tiga pendekatan dasar dalam merumuskan tingkah laku etika
bisnis, yaitu :
a)Utilitarian
Approach :
setiap
tindakan harus didasarkan pada konsekuensinya. Oleh karena itu, dalam bertindak
seseorang seharusnya mengikuti cara-cara yang dapat memberi manfaat
sebesar-besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak membahayakan dan
dengan biaya serendah-rendahnya.
b)
Individual Rights Approach :
setiap orang dalam tindakan dan kelakuannya
memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun tindakan ataupun tingkah laku
tersebut harus dihindari apabila diperkirakan akan menyebabkan terjadi benturan
dengan hak orang lain.
c) Justice Approach :
para
pembuat keputusan mempunyai kedudukan yang sama, dan bertindak adil dalam
memberikan pelayanan kepada pelanggan baik secara perseorangan ataupun secara
kelompok.
Etika
bisnis dalam perusahaan memiliki peran yang sangat penting, yaitu untuk
membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta
mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan
suatu landasan yang kokoh. Biasanya dimulai dari perencanaan strategis ,
organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh budaya perusahaan
yang andal serta etika perusahaan yang dilaksanakan secara konsisten dan
konsekuen. Haruslah diyakini bahwa pada dasarnya praktek etika bisnis akan
selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka menengah maupun jangka
panjang, karena:
1. Mampu
mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi, baik intern
perusahaan maupun dengan eksternal.
2. Mampu
meningkatkan motivasi pekerja.
3. Melindungi
prinsip kebebasan berniaga.
4. Mampu
meningkatkan keunggulan bersaing.
Perkembangan
yang pesat dari korporasi ini terutama dipengaruhi oleh perubahan dan
perkembangan masyarakat itu sendiri, yakni perkembangan masyarakat agraris ke
masyarakat industri dan perdagangan (internasional) pada dasawarsa terakhir
ini. Ciri masyarakat industri adalah dengan munculnya korporasi sebagai pelaku
ekonomi atau subyek hukum. Korporasi dalam perkembangan- nya dapat memperoleh
hak (dan kewajiban) yang dimiliki oleh manusia, seperti dapat membuat sebuah
kontrak, dapat menuntut dan dituntut, namun korporasi tetap berbeda dengan
subyek hokum manusia yakni pada sifatnya yang tidak memiliki jangka waktu
hidup, dalam arti dia bisa hidup selama- lamanya.
Korporasi
terbentuk ketika orang-orang mulai berhimpun (mengorganisasikan diri) untuk
keperluan mengumpulkan kapital (modal). Dalam korporasi, modal dihimpun dengan
mengikutsertakan pihak- pihak luar (yang bahkan melampaui batas-batas negara).
Secara hukum, lembaga penghimpun kapital ini berkembang dan kemudian berdiri
sendiri, terlepas dari orang-orang yang menyertakan modalnya. Untuk menjalankan
lembaga ini ada pengurusnya tersendiri, yaitu manajemen lengkap dengan jajaran
direksi dan manajernya. Korporasi yang adalah perkumpulan orang yang mempunyai
kepentingan, di mana orang- orang tersebut merupakan anggota dari korporasi dan
anggota yang mempunyai kekuasaan dalam pengaturan korporasi berupa rapat
anggota sebagai alat kekuasaan yang tertinggi dalam peraturan korporasi.
Sebagai badan yang didirikan dengan motif ekonomi, maka tujuan utamanya adalah
mencari keuntungan, sehingga korporasi dalam hal ini akan memasuki usaha-usaha
yang dapat menghasilkan keuntungan.
Pengertian
korporasi atau badan hukum dapat dirinci menjadi 2 (dua) golongan jika dilihat
dari perspektif cara mendirikan dan peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya, yaitu:
1. Korporasi
Egoistis Yaitu
korporasi yang menyelenggarakan kepen- tingan para anggotanya, terutama harta
kekayaan, misalnya Perseroan Terbatas, Serikat Pekerja;.
2. Korporasi
yang Alturistis Yaitu
korporasi yang tidak menyelenggarakan kepentingan para anggotanya, seperti per-
himpunan yang memperhatikan nasib orang-orang tuna netra, penyakit tbc,
penyakit jantung, penderita cacat, dan sebagainya (Chidir Ali, 1987:74)
Kedudukan
dan fungsi korporasi di berbagai belahan dunia semakin menduduki posisi /
tempat yang penting. Kedudukan korporasi yang memiliki fungsi yang penting
ternyata juga membawa dampak negatif, di mana korporasi untuk mencapai
tujuannya melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum. Secara umum, I. S.
Susanto menyatakan bahwa kejahatan korporasi dapat dibedakan atas:
1.
Crimes for Corporation
Yakni
pelanggaran hukum dilakukan oleh korporasi karena menginginkan tujuannya yakni
mencari keuntungan dengan cara apapun
2.
Criminal Corporation
Yakni
dibentuknya badan usaha yang memang ditujukan/diperuntukkan untuk melakukan
perbuatan-perbuatan jahat (I.S. Susanto, 1992:6).
Dapatlah
dipahami bahwa kejahatan korporasi merupakan salah satu pola kriminalitas yang
termasuk pada kejahatan non-konvensional yang hanya ada di era modern, era
industrialisasi bisnis dan pasaran transnasional yang terkait erat dengan
hal-hal sebagai berikut:
a.
Sistem ekonomi suatu masyarakat yang cenderung kompetitif, mendorong timbulya
konsumerisme, dan berskala besar
b.
Pemahaman dari para pelaku usaha bahwa dirinya melanggar hukum, namun mereka
yakin bahwa tindakannya bukan sebagai perbuatan orang jahat
c.
Kejahatan bisnis sebagian besar dilakukan oleh korporasi besar dan sebagian
lagi bersifat okupasional.
Kejahatan
Bisnis
Pengertian
istilah “kejahatan bisnis” dirumuskan oleh John.E.Conklin sebagai: “Business
crime is an illegal act, punishable by a criminal sanction, which is committed
by an individual or a corporation in the course of a legitimate occupation or
persuit in the industrial or commercial sector for the purpose of obtaining
money or property, avoiding the payment of money or the loss of property or
personal advantage”. (Conklin,1977:11-13). Perumusan “kejahatan bisnis” di atas
menunjukkan salah satu pola kejahatan non konvensional yang dewasa ini sangat
menonjol karena menjadi problem hampir di semua negara, terlebih negara yang
sedang membangun yang sangat bergantung pada perkembangan dan pertumbuhan
ekonominya serta berhubungan erat dalam lintas niaga transnasional. Di samping
itu, pengertian “kejahatan bisnis” mengandung pula makna filosofis, yuridis dan
sosiologis. Secara filosofis, kejahatan bisnis mengandung makna bahwa telah
terjadi perubahan nilai-nilai (values) dalam masyarakat manakala suatu
aktivitas bisnis dioperasikan sedemikian rupa sehingga sangat merugikan
kepentingan masyarakat luas. Perubahan nilai tersebut menggambarkan bahwa
kalangan pebisnis sudah kurang atau tidak menghargai lagi kejujuran (honesty)
dlam kegiatan bisnis nasional dan internasional demi untuk mencapai tujuan
memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Secara singkat dapat ditarik kesimpulan
bahwa dalam kegiatan bisnis sudah tidak dapat ditemukan ketertiban dan
kepastian hukum dan karenanya tidak mungkin menemukan keadilan bagi para pelaku
bisnis yang beritikad baik. Konsekuensi logis dari keadaan dan masalah hukum
tersebut ialah diperlukan perangkat hukum lain yaitu hukum pidana untuk
membantu menciptakan ketertiban dan kepastian hukum serta untuk menemukan
keadilan bagi para pelaku bisnis yang beritikad baik dan telah dirugikan.
Adapun secara yuridis, pengertian istilah “kejahatan bisnis” menunjukkan bahwa
terdapat 2 (dua) sisi mata uang yaitu di satu sisi terdapat aspek hukum
perdata, dan di sisi lain terdapat aspek hukum pidana. Kedua aspek hukum
tersebut memiliki dua tujuan yang berbeda secara diametral dan memiliki sifat
atau karakteristik yang bertentangan satu sama lain. Aspek hukum perdata lebih
mementingkan perdamaian di antara para pihak, sedangkan aspek hukum pidana
lebih mementingkan melindungi kepentingan umum, masyarakat luas bahkan negara.
Secara sosiologis, pengertian “kejahatan bisnis” menunjukkan keadaan yang nyata
terjadi dalam aktivitas di dunia bisnis. Namun di sisi lain menunjukkan pula
bahwa kegiatan bisnis sudah tidak ada lagi ‘keramahan’ (unfriendly business
atmos- phere) atau seakan-akan sudah tidak ada lagi yang dapat dipercaya di
antara pelaku bisnis.
Penerapan
sanksi pidana terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana tidak segampang
dan semudah menerapkan sanksi pidana terhadap orang / individu. Ada hal-hal
yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan sebelum menjatuhkan sanksi pidana
terhadap korporasi, yakni:
1. The
degree of loss to the public
2. The
level of complicity by high corporate
Beberapa
faktor pemicu kejahatan korporasi berdasarkan atas hasil riset yang dilakukan
Clinard menyebutkan bahwa perilaku top manajemen ̧ kompetisi dan
kerakusan, tipe korporasi dengan margin keuntungan yang rendah atau tipe
korporasi yang sangat kompetitif, riwayat sosial korporasi, praktek dagang yang
tidak jujur (unfair trade practices) dari perusahaan saingan, kurangnya
pemahaman terhadap etika bisnis adalah merupakan faktor-faktor kriminogen dari
kejahatan korporasi. (Clinard, 1983:53-70).
Dalam
konteks tersebut, Romli Atmasasmita menegaskan bahwa pelanggaran-pelanggaran
dalam kegiatan bisnis sudah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan jika
tidak dapat dikatakan sudah mencapai titik nadir sementara perangkat hukum
untuk menemukan pelakunya dan menghukumnya sudah tidak memadai lagi. (Romli
Atmasasmita, 2003:24).
Hukum
merupakan salah satu bidang yang perlu dibangun untuk memperkokoh bangsa
Indonesia di dalam menghadapi kemajuan baik ilmu, teknologi dan ekonomi yang
sangat pesat. Masalah hukum bukanlah masalah yang berdiri sendiri, akan tetapi
berkaitan dengan masalah-masalah lainnya.
Pembangunan
hukum pidana nasional di era reformasi ini lebih bermakna pada harmonisasi
hukum dengan perkembangan hukum yang berlaku di lingkungan negara-negara dan
masyarakat beradab dan hukum pidana harus benar-benar aspiratif terhadap
kebutuhan masyarakat luas, baik dari sisi kepastian hukum, keadilan dan
kemanfaatan. Fungsi hukum pidana adalah melindungi sekaligus menjaga
keseimbangan antara kepentingan negara dan kepentingan masyarakat, kepentingan
negara dengan kepentingan perseorangan dan kepentingan pelaku tindak pidana
dengan kepentingan korban. Dalam hal ini, bukan semata-mata persoalan antara
kepentingan pelaku dengan kepentingan korban yang mungkin dapat diselesaikan
secara perdata atau melalui alternatif penyelesaian sengketa (alternative
dispute resolution). Masih terdapat adanya paradigma klasik dalam menggunakan
hukum sebagai sarana untuk menyelesaikan masalah dalam masyarakat. Para- digma
klasik yang memiliki pandangan bahwa hukum pidana berfungsi sebagai ultimum
remedium disebabkan karena dalam kenyataannya ada kasus- kasus yang tidak lagi
cukup diselesaikan hanya oleh sarana hukum administratif atau hukum perdata
saja. Penggunaan sarana hukum pidana yang bersifat primum remedium dipandang
lebih cocok dan tepat dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum tersebut.
Sumber :
Lebrine
: Pengaruh Etika Bisnis Terhadap Kejahatan Korporasi dalam Lingkup Kejahatan
Bisnis
http://zetzu.blogspot.co.id/2010/01/etika-bisnis.html
0 komentar:
Posting Komentar